SUARA GARUT - Belakangan ini publik dihebohkan oleh sebuah terobosan baru yang digagas Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Nadim Makarim.
Penggunaan diksi marketplace oleh Menteri Nadim dalam solusi penyelesaian guru honorer, malah menuai kontroversi, baik kalangan legislatif, honorer, hingga para ahli pemerhati pendidikan.
Bagaimana tidak penggunaan diksi marketplace untuk guru, dinilai berbagai kalangan memiliki konotasi negatif.
Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), khawatir penggunaan diksi marketplace bisa mendegradasi guru sekadar barang dagangan.
Baca Juga:Iniesta Lagi Nganggur, Persib Minat Transfer Eks Barcelona?
Akibatnya dengan penggunaan marketplace, membuat kedudukan guru dinilai menjadi makin kurang terhormat.
"Khawatir penggunaan diksi marketplace mendegradasi guru menjadi sekadar barang dagangan, kedudukan makin tidak terhotmat," kata Kabid Advokasi P2G, Iman Zanatul Haeri dikutip dari Republika.
Sementara itu, seorang ahli bernama Apriadi menjelaskan, marketplace adalah sebuah wadah pemasaran produk secara elektronik yang dipertemukan banyak penjual dan pembeli secara online.
Jadi marketplace itu, sebuah tempat untuk berjualan online.
Marketplice dalam persepsi penuntasan honorer, calon guru ASN adalah penjualnya, sedangkan Kepala Sekolah selaku pembelinya.
Baca Juga:Thomas Tuchel: Situasinya Jelas, Bayern Munich Harus Menang
P2G masih berbaik sangka pembentukan marketplace alias loka pasar atau tempat jual beli online, mungkin dibentuk sebagai upaya pemangkasan alur birokrasi.
Seleksi guru PPPK alur birokrasi yang ada saat ini membuat guru lulusan passing grade P1 terlunta-lunta nasibnya.
"Berbaik sangka saja, mungkin marketplace yang dimakasud pe Menteri memangkas alur birokrasi yang kini membuat lulusan passing grade terlunta-lunta nasibnya," kata Iman dikutip dari Republika.
Menurut Iman, pembentukan lokapasar atau markrtplace kemendikbudristek makin platform oriented.
P2g khawatir solusi persoalan kebijakan pendidikan berupa aplikasi tambahan justru tidak menyelesaikan masalah.
Mendikbud mestinya mempertimbangkan fakta lapangan bahwa guru sudah sangat pusing dengan aplikasi yang begitu banyak.
Mereka harus menggunakan banyak aplikasi, mulai dari keperluan soal mengajar hingga sekedar melaporkan pembelajaran.
"Para guru sudah overcapacity dengan aplikasi yang begitu banyak dari soal mengajar bahkan melaporkan pembelajaran," katanya. (*)